Selasa, 28 Juni 2011

Sekilas tentang OV-10 Bronco



OV-10 Bronco adalah pesawat militer ringan berbaling-baling bermesin ganda buatan North American Rocwell sebagai pesawat serang ringan dan pesawat angkut ringan. Pesawat ini dikembangkan pada tahun 1960 an sebagai pesawat khusus untuk pertempuran COIN (COunter-INsurgency) atau anti gerilya. Walaupun memiliki sayap tetap, kemampuannya mirip dengan kemampuan helikopter serbu berat yang cepat, mampu terbang jarak jauh, murah dan sangat dapat diandalkan.
OV-10 Bronco mampu terbang pada kecepatan sekitar 560 km/jam, memuat bahan peledak eksternal seberat 3 ton, dan mampu terbang tanpa henti selama 3 jam atau lebih. Pesawat ini berharga karena kemampuannya dalam mengemban berbagai misi, memuat berbagai macam senjata dan kargo, area pandang pilot yang luas, kemampuan terbang dan mendarat di landasan yang pendek, biaya operasi yang murah dan kemudahan dalam perawatan. Dalam banyak kejadian, pesawat ini mampu terbang baik hanya dengan menggunakan satu mesin.

OV-10 Bronco di Indonesia

TNI-AU saat ini tercatat memiliki 16 unit OV-10F (varian OV-10 khusus untuk TNI-AU) yang tergabung dalam Skadron 1/Bronco Flight yang bermarkas di Lanud Abd rachman saleh, Malang, Jawa Timur. Pesawat-pesawat ini dibuat pada tahun 1976 dan berperan aktif dalam konflik di Tim Tim, ketiadaan bom yang baru akan dikirimkan oleh Amerika Serikat setelah 3 tahun dari pembelian disiasati dengan memasang bom-bom Rusia dengan memodifikasi bagian cantelan bom di pesawat. Pada tahun 2007 diketahui beberapa pesawat ini masih aktif dioperasikan oleh TNI-AU.

Pencipta OV Bronco adalah Mr. Bill Becket dan Mr. KP. Rice





North American OV-10 Bronco

The OV-10 Bronco, a rugged, maneuverable, twin-turboprop, multimission aircraft, served with the U.S. Air Force and Marine Corps (OV-10A), and internationally with the military services of West Germany (OV-10B), Thailand (OV-10C), Venezuela (OV-10E), and Indonesia (OV-10F). Designed and built by North American at Columbus, Ohio, the Bronco complemented the performance requirements between jets and helicopters.
Faster and more tactically versatile than helicopters, yet slower and more maneuverable than jets, the Bronco utilized tactics not possible with either. The OV-10D night observation system (NOS) featured a unique night observation and target marking system that included forward-looking infrared (FLIR) and laser designator/ranger. With uprated 1040 SHP turboprop engines and fiberglass propellers, NOS provides greater range, improved performance and greater survivability. In military operations, the Bronco's outstanding capability to find and hit battlefield targets close to friendly troops made this an aircraft effective against conventional and guerrilla forces.
The effective application of the Bronco's versatility did not end with purely military functions, however. Civil action applications added significantly to the cost-effectiveness of this economical aircraft. Military applications for which the Bronco was particularly suited include anti-guerrilla operations, helicopter escort, close air support, armed reconnaissance, and forward air control. In addition, it could be used for utility missions such as cargo paradrop, delivery of up to six paratroops, medical evacuation, smoke screening, and psychological warfare with leaflets and loudspeakers. For peacetime operations, the guns, bomb racks, and armor could be removed quickly, and the aircraft became a high-performance STOL utility vehicle.
Potential applications included aerial mapping, geological survey, spraying, disaster relief, and patrol work. Ruggedness and simplicity of operation were emphasized in the design of the Bronco. The fuselage was mounted under the wing and provides tandem seating for pilot and observer. The canopy design afforded better visibility than that of most helicopters. Each crewman was equipped with an LW-3B ejection seat system, also designed and built at Columbus, which was capable of zero-speed, zero-altitude ejections. Armor protection, a bullet-resistant windshield, and self-sealing fuel cells were provided for operations in a hostile environment. Twin engines, dual manual flight controls, and rugged and simple construction also contributed to survivability and safety. Removal of the armament sponsons and the back seat with its associated armor enabled a quick and simple conversion to a civil action configuration, which permitted the carrying of 3,200 pounds (1,452 kilograms) of cargo in the aft fuselage. For operation in remote areas, the Bronco had a specially designed rough field landing gear, required no ground equipment for starting, and could be maintained with simple handtools. In the event of an emergency, the Bronco could use high-octane or automotive fuel in place of jet fuel with only a slight degradation of power.
The Marines were the impetus behind the development of the OV-10D model, eventually concluding the Bronco's combat career by sending it (both A and D models) into action in operation Desert Storm in January 1991. (The Air Force kept their remaining Broncos at home.) OV-10Ds were preferred due to their greater speed and capabilities while the OV-10As were restricted to operating mostly in daylight. Two OV-10As were shot down by heat-seeking ground-launched missiles during the war, with one crew member killed and three captured by Iraqis troops. The OV-10A remained in service with the Air Force until 1993, with the USMC until 1994, U.S.Navy after the Vietnam war withdrew it from front-line service but continued to use it for weapons testing and development.  


General characteristics OV-10A

Primary function Multipurpose COIN (COunter-INsurgency); NOS (Night Observation System)
Contractor North American (later Rockwell International, now Boeing)
Power plant Two Garrett-AiResearch T76-G-416/417 turboprop engines
Thrust 2x 715 HP 2x 533 kW
Length 41 ft 7 in 12.67 m
Height 15 ft 1 in 4.62 m
Wingspan 40 ft 12.19 m
Wingarea 291 sq ft 27.03 sq m
Weight empty 6,894 lb 3,127 kg
max. takeoff 14,444 lb 6,552 kg
Speed max. 281 mph 452 km/h
cruising 223 mph 359 km/h
Initial climb rate 43.3 ft/s 13.2 m/s
Range 1,240 miles 1,996 km
Combat radius 228 miles 367 km
Ceiling 26,000 ft 7,925 m
Armament Four M60C 7.62mm machine guns (500 rounds each) in fuselage sponsons,  plus 3,600 lb of mixed ordnance or gun pods carried externally.
Crew Two
First flight July 16, 1965
Date deployed 1967
Unit cost $480,000

Pics from: OV-10Bronco.NET

Rabu, 01 Juni 2011

Sejarah Aeromodelling Indonesia




Kegiatan pembuatan pesawat model ini dimulai sejak tahun 1946 bersamaan dengan dirintisnya pembuatan pesawat layang pertama di Yogyakarta ( Aeromodeller dan Pandu Udara ) dan berkembang ke kota-kota besar, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Surakarta.
Untuk menampung peminat yang makin banyak maka AURI ( TNI AU ) memberikan wadah "BIRO AERO CLUB" yang dibina oleh Kapten G. Reuneker, dan untuk pertama kalinya diadakan perlombaan pada tanggal 27 Januari 1952 di Pangkalan Udara Cililitan / Halim Perdanakusuma Jakarta yang diikuti Club-Club Aeromodelling kota-kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan.
Pada 9 April 1953 Biro Aero Club membuka kursus Aeromodelling di Jakarta yang mendapat perhatian besar dari masyarakat. Menyusul perlombaan selanjutnya pada tanggal 17 Mei 1954, yang diikuti oleh Aero Club Jakarta, Bandung, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Makasar, Ambon dan perlombaan ini dilaksanakan setiap tahun.

Juni 1954 untuk pertama kalinya diadakan perkemahan Pandu Udara di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang dihadiri oleh 80 Pandu Udara dari seluruh Indonesia. Di dalam perkemahan ini dilaksanakan perlombaan kedirgantaraan. Perlombaan ini merupakan percobaan jajak pendapat untuk melihat animo masyarakat. Tujuan utamanya adalah untuk mendidik pelatih-pelatih khusus hingga pada tahun 1955 telah tercatat 35.000 anggota Pandu Udara di seluruh Indonesia.

Kegiatan Aero Club mulai nampak dengan berdirinya Aero Club di kota-kota besar antara lain : Aviantara di Bandung, Jakarta Aero Club di Jakarta, Pemudara dan Yan Debrito di Yogyakarta, Surakarta Aero Club di Surakarta, Malang Aero Club di Malang.
Perlombaan tahun 1957, bagi pemenang / juara perlombaan dipilih untuk dikirim ke Yugoslavia mengikuti pendidikan Terbang Layang.Tahun 1960 TNI AU bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( P&K ) menyelenggarakan pendidikan Kursus Aeromodelling dan Peroketan (K.A.P) bertempat di Wing Pendidikan 04 Lanud Adi Sumarno.
Pendidikan K.A.P ini diikuti oleh siswa-siswa daerah, baik anggota TNI, Sipil TNI, Guru maupun Pramuka. K.A.P berjalan sampai beberapa periode. Dari hasil pendidikan K.A.P tumbuh masukan-masukan / usul-usul daerah untuk menghimpun perkumpulan-perkumpulan / club-club Aeromodelling dalam satu organisasi.
Dari masukan-masukan / usulan-usulan, Letnan Suhartono ( Kepala Kursus Aeromodelling dan Peroketan ) memprakarsai untuk mengadakan pertemuan membahas organisasi Aeromodelling.
Tahun 1962 di Hotel Merdeka Solo terlaksana diselenggarakan Rapat Rencana Pembentukan Organisasi Aeromodelling, yang dipimpin oleh Letnan Suhartono.
Dari hasil rapat disepakati terbentuknya Organisasi Aeromodelling dengan nama Federasi Aeromodelling Seluruh Indonesia disingkat FASI, yang kemudian nama FASI dijadikan nama dari induk seluruh cabang olahraga dirgantara di Indonesia. Sebagai pusat Organisasi adalah kota Solo di Skadik 011 Wing pendidikan 04,  khususnya dalam mengembangkan olahraga dirgantara dikalangan Pramuka.

Pada tahun 1966 telah diadakan kerjasama antara kwartir nasional Gerakan Pramuka dengan kepala staf TNI Angkatan Udara, dengan membentuk satuan karya Dirgantara / Kompi-Kompi Pramuka Angkasa dengan menyelenggarakan pendidikan diantaranya Aeromodelling. Dalam upacara pembukaannya ditandai dengan demonstrasi Aeromodelling, Terbang Layang, Terjun Payung, Pesawat Bermotor serta peluncuran Roket yang diselenggarakan di Pulo Mas dengan Inspektur Upacara Bung Karno.
Untuk tinggal landas digunakan jalan By Pass sebagai landasan pesawat terbang layang dengan pesawat penarik AUSTER  dan di Senayan Jakarta. Tanggal 10 s/d 20 November 1968 diselenggarakan Loka Karya Nasional Pramuka dengan ANUDIRGA ( Andalan Nasionala Urusan Dirgantara ) Bapak Kardono di Jakarta ( Halim Perdanakusuma ).

Olahraga Aeromodelling ini dilombakan baik tingkat nasional, regional maupun internasional. Sejak tahun 1978 olahraga ini sebagai cabang yang dilombakan ekshibisi di PON ( Pekan Olahraga Nasional ) sampai PON XI 1981. Namun pada PON XII tahun 1989 cabang olahraga Aeromodelling tidak lagi diperlombakan / dipertandingkan. Kemudian pada tahun 2000 mulai lagi dilombakan dalam PON XV di Jawa Timur. Selain melaksanakan / mengikuti lomba Aeromodelling juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan PB FASI seperti Jambore Aero Sport, Safari FASI dan lainnya

tentang FASI Aeromodelling



Aeromodelling
Aeromodelling adalah kegiatan olahraga dirgantara yang terkait dengan perencanaan, perancangan, pembuatan, dan penerbangan pesawat model. Sedangkan pesawat model adalah pesawat udara tak berawak dengan batasan-batasan tertentu yang meliputi batasan ukuran pesawat, batasan mesin dan batasan bentuk. Pesawat tak berawak untuk untuk keperluan pengintaian atau untuk misi ke luar angkasa oleh misalnya oleh militer atau badan luar angkasa, akan disebut sebagai Pesawat tak Berawak atau UAV, Unmanned Air Vehicle dan tidak termasuk pada kategori aeromodelling.

Di Indonesia, aeromodelling sudah ada sejak tahun 1945 bersamaan dengan dirintisnya pembuatan pesawat layang pertama di Yogyakarta ( Aeromodeller dan Pandu Udara ) dan berkembang ke kota-kota besar, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Solo. Dalam perkembangannya aeromodelling tidak lepas dari peran TNI AU sampai sekarang. 

Organisasi
PORDIRGA Aeromodelling FASI adalah sebuah organisasi olah raga dirgantara yang merupakan alat organisasi dari PB FASI (Pengurus Besar Federasi Aero Sport Indonesia) yang menangani bidang Aeromodelling dengan wewenang nasional. Organisasi inil juga membawahi Pengda-pengda Aeromodelling di seluruh Indonesia. Club-club aeromodelling, berdiri dibawah naungan masing-masing Pengda. Struktur organisasi PB FASI bisa dilihat sbb :





Struktur Organisasi PB FASI


alt



Kegiatan
Sebagai organisasi olah raga yang dinamis dan berkembang, PORDIRGA Aeromodelling secara rutin menyelenggarakan kegiatan-kegiatan nasional seperti :
  • Kejurnas
  • Kwalifikasi PON
  • PON
  • Rakernas
  • Munas
  • Pembinaan wasit